Picture
Menyambut ulang tahun ke 121 Kota Sawahlunto yang jatuh pada tanggal 1 Desember2009 sudah mulai kelihatan bentuk dan tekstur kota yang mulai dinamis antara pembangunan infrastruktur baru serta perpaduannya dengan bangunan2 peninggalan kolonial.Tapi selaras dengan itu...Mulai munculnya permasalahan sosial antara lain masalah pemukiman, dan susunan bangunan fisik di perkotaan yang tidak teratur menjadikan kota terlihat tidak rapi. Belum lagi masalah ketidakcukupan atau ketidakterlayaninya masyarakat akan kebutuhan air bersih dan listrik di Kota Sawahlunto.

Semua ini salah satunya disebabkan pembangunan kota yang terjebak pada penekanan tertentu dan mengabaikan sektor lain. Sehingga kota tidak mampu memberikan jaminan kualitas hidup yang baik bagi warganya. Padahal seharusnya pembangunan kota dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh sehingga sebuah kota nyaman untuk ditinggali.

Pembangunan kota saat ini, sedang mengarah kepada penciptaan sebuah kota yang berkelanjutan dimana kota tersebut mampu memenuhi kebutuhan masa kini tanpa melupakan kemampuan generasi masa datang dalam memenuhi kebutuhannya. Sehingga sebuah kota harus bertujuan agar ‘user friendly’ dan bersumberdaya (resourceful), dalam artian tidak hanya dalam bentuk efisiensi energi, tetapi juga pada fungsi dan tempat kehidupan. (Elkin, McLaren, Hillman, 1991). Kemudian suatu kota juga harus bertujuan (atau sistem perkotaan) secara menerus mendorong agar secara economis lebih produktif, stabil dan inovatif, namun dengan menggunakan sumberdaya pada tingkat yang rendah/hemat (WHO, 1992) dan melibatkan pencapaian aspirasi pembangunan kota, dengan mempertimbangkan kondisi sediaan sumberdaya alam dan buatan tidak terganggu sehingga dalam jangka panjang menyebabkan ancaman bagi masa depan. (Breheny, 1990).

Menurut Graham Haughton & Colin Hunter (1994), pembangunan kota juga harus diarahkan pada sustainable development yang memiliki tiga prinsip dasar yaitu Pertama prinsip kesetaraan antar generasi (inter-generation equity). Kesetaraan antara generasi harus menjadi pertimbangan semua kegiatan manusia, dampak kemampuan generasi masa datang dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasinya harus dipertimbangkan. Hal ini mengacu pada prinsip masa depan. Kedua prinsip keadilan sosial (social justice). Prinsip ini berkaitan dengan kemiskinan, dimana kemiskinan dipandang sebagai sebab utama kemerosotan (degradasi). Sustainability mempersyaratkan bahwa kontrol terhadap distribusi sumber-daya harus dilaksanakan secara merata, dengan memperhitungkan kebutuhan dasar dan aspirasi bersama. Partisipasi dalam strategi dan kebijakan lingkungan secara meluas merupakan unsur keterpaduan dalam mencapai tujuan ini, dikenal juga sebagai kesetaraan intra-generasi. Ketiga prinsip tanggung-jawab transfrontier. Pada tingkat yang lebih luas, dibutuhkan pendampingan pada lingkungan global. Lebih khusus, polusi transfrontier perlu dikenali dan dikontrol. Bila dimungkinkan, dampak kegiatan manusia harus tidak melibatkan pergeseran geografis dalam persoalan lingkungan yang tidak dikompensasikan. Negara kaya seharusnya tidak mengeruk sumberdaya secara berlebihan di kawasan lain, menyebabkan ketimpangan ekonomi regional dan ekosistem. Hal yang sama juga biaya lingkungan kegiatan perkotaan harus tidak merambah kawasan diluar batas metropolitan, berdampak pada subsidi bagi pertumbuhan

Belajar dari Pengalaman Kota Bogota

Bogota, ibukota Kolombia, Amerika Selatan, dengan jumlah penduduk 7 juta jiwa, merupakan kota yang pada awalnya sering disebut sebagai kota narkoba, penuh dengan korupsi, penculikan dan tindak kejahatan lain. Pada tahun 1995 saja ada 3.363 pembunuhan dan 1400 kematian karena kecelakaan lalulintas. Sebagai bentuk akumulasi dampak perang saudara, ledakan populasi serta kelalaian tatakota. Orang-orang kaya memagari taman-taman publik di areanya. Mobil-mobil mengambil alih trotoar sebagai tempat parkir. Polusi udara bersaing dengan Mexico City. Karyawan dari selatan setiap hari menghabiskan waktu empat jam untuk menuju tempat kerjanya di utara. Selain itu, Bogota juga memiliki tingkat pengangguran 20%, dan 55% tingkat perekonomian masyarakatnya dibawah garis kemiskinan dengan penurunan nilai ekspor dan politik yang tidak stabil. Kota dengan tingkat kerusakan dan polusi yang buruk ini tidak lebih baik dari Jakarta. Bahkan, mungkin jauh lebih buruk kondisinya.

Namun dalam kurun waktu kurang dari 7 tahun, Bogota telah berubah menjadi kota yang layak huni, termasuk tersedianya prasarana pejalan kaki yang luas, prasarana rute sepeda yang baik dan panjang serta prasarana dan sarana angkutan umum yang handal.

Perubahan ini sejak terpilihnya Penalosa sebagai walikota Bogota. Pada tanggal 22 Desember 1999, walikota Penalosa mengawali sepak terjangnya dengan memberlakukan pelarangan penggunaan kendaraan bermotor di jalan raya ('car free day') dan memaksa jutaan orang untuk menikmati lampu-lampu natal dari sepeda atau berjalan kaki dengan aman.

Langkah berikutnya adalah menerapkan hari bebas kendaraan pada setiap hari kerja. Ketika itu walikota meminta agar kebijakan tersebut disiapkan dalam waktu sebulan, sementara para pakar memerlukan waktu sosialisasi selama 6 bulan.

Penalosa melakukan referendum untuk menentukan kebijakan 'car free day' dengan janji akan membatalkan kebijakan 'car free day' jika memperoleh suara kurang dari 60%, walaupun akhirnya 61% menyetujui untuk dilanjutkan.

Pada tanggal 24 Februari 2000, pertama kalinya diterapkan Hari Bebas Kendaraan di Bogota, dimana 7 juta penduduk dapat menikmati jalan raya yang aman dan udara yang nyaman. Saat itu satu setengah juta penduduk melakukan perjalanan dengan bersepeda dan berjalan kaki.

Dalam referendum lain yang dilakukan pada bulan Oktober 2000, 70% menginginkan dilanjutkannya 'Hari bebas kendaraan', 51% mendukung gagasan untuk dilakukan setiap hari selama 6 jam.

Yang menarik adalah alasan yang di kemukakan oleh Penalosa bahwa "Semua ini dilakukan untuk anak-anak. Jika kita menciptakan anak-anak yang bahagia, maka kita akan mempunyai segalanya, di samping masalah kesetaraan (equity)." Tambahnya lagi, "Setiap dollar harus dapat digunakan untuk membahagiakan anak-anak. Dari pada membangun jalan baru, kita harus membangun kota yang adil bagi semua orang".

Saat ini Bogota memberlakukan kebijakan perbaikan prasarana angkutan umum dimana dananya diperoleh dari komponen pajak BBM yang tinggi. Kebijakan ini dibarengi dengan kebijakan pembatasan kendaraan dengan sistem plat nomor dan tarif parkir yang tinggi, terutama di perkotaan. Ternyata tanpa kendaraan bermotor, aktivitas pendidikan dan perekonomian sama sekali tidak terganggu.

Perolehan dana dari peraturan kendaraan pribadi berhasil dimanfaatkan untuk pembangunan TransMilenio (sejenis busway), pendidikan (lebih 200.000 anak disekolahkan, memperbaiki 150 sekolah, membangun 50 sekolah baru, 3 perpustakaan besar, pembagian 14.000 komputer sekolah yang terhubung ke internet dan perpustakaan); pembangunan 1.200 taman dengan lebih 100.000 pohon; membangun dan merekonstruksi ratusan kilometer trotoar; lebih 300 kilometer jalur sepeda; dan menyalurkan air ke ratusan ribu penduduk miskin. Semua itu hanya dalam tiga tahun masa jabatannya.

Masalah lain yang menarik adalah perbaikan sistem angkutan umum yang terlihat dengan adanya 'Transmilenio'. Sistem ini mengurangi 1 sampai 2 jam waktu tempuh pada koridor yang sama.

Perencanaan sistem Transmilenio dimulai pada 13 Oktober 1999, pada tahun-tahun terakhir pemerintahan walikota Penalosa. Transmilenio diperkenalkan pada 18 Desember 2000 dan dioperasikan sejak 6 Januari 2001.

Tidak hanya itu, pemerintah kota juga mewajibkan seluruh bangunan di tepi jalan raya mundur 3 meter atau lebih demi pelebaran jalan. Maka, kemudian terdapat 285.500 meter persegi ruang publik berhasil ditata kembali dan dibangun untuk trotoar, jalur pedestrian, ruang terbuka hijau, dan lorong.

Bogota saat ini memiliki 11 taman kota, 3.149 taman ukuran sedang, dan 323 taman kecil (pocket parks). Semuanya berfungsi sebagai paru-paru kota, membuat kota menjadi sejuk, teduh sekaligus lapang karena memiliki banyak ruang terbuka.

Penggusuran mendapat perlawanan dari warga melalui berbagai aksi unjuk rasa. Dia dicaci maki, popularitasnya sempat merosot tajam menjadi hanya 16%, tetapi situasi itu tidak sampai chaos.

Sebab, sebelum mengambil keputusan tersebut, Penalosa selaku Walikota Bogota telah membangun dialog seutuhnya dengan warka setempat untuk menumbuhkan iklim partisipasi publik. Dia terus memperlihatkan karakternya yang konsisten, kepemimpinan, mengedepankan koordinasi, dan komprehensif dalam konsep.

Berbagai perubahan yang dicapai Bogota telah menunjukkan bahwa untuk menciptakan sebuah kota yang baik sangat bergantung pada visi, misi dan keinginan politik dari pemerintah yang berkuasa. Penalosa sebagai walikota Bogota saat ini sangat berperan besar dalam perubahan yang terjadi di Bogota. Hal ini menunjukkan bahwa aspek politik memiliki peran yang sangat besar. Dengan kata lain bahwa kewengan secara politik memang harus digunakan untuk membuat perubahan.

 
Picture
"Bersabarlah kepada setiap orang, tetapi lebih bersabarlah kepada dirimu sendiri. Janganlah gelisah karena ketidaksempurnaanmu, dan bangunlah selalu dengan perkasa dari suatu kejatuhan." ~ Andrio An (R10)

Tersentak hati melihat ketika sebuah Empati/Kepedulian sudah tidak lagi dimiliki oleh Pemerintah/penguasa yang notabene harus memiliki sebuah kepedulian terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Terlalu besar cakrawala cara berfikir yang saya bayangkan apabila ini semua berbicara tentang maslah bangsa karena sangat-sangat disadari mungkin terlalu jauh domain itu untuk dikejar dengan kapasitas yang ada.Cukup hanya berfikir dengan realita yang ada. Berupaya menyederhanakan mindset untuk hanya berfikir selingkupan sebuah kota kecil yang bernama Sawahlunto saja. Sebuah Kota tempat saya lahir dan dibesarkan. Sebuah kota yang selalu mengetuk  sebuah asa untuk bisa berbuat yang terbaik bagi kota ini lewat sebuah Kepedulian.

Bila kita berandai-andai, bagaimana cara kita mensejahterakan kota ini beserta masyarakatnya, maka dengan cara berbuat yang terbaik serta sebuah kepedulian, disertai sikap kritisi terhadap pengambil kebijakan  agar tersalur apa yang sesungguhnya menjadi keinginan masyarakat kota dalam kerangka kemashlatan umat. Begitu juga bila kita menginginkan kebahagiaan orang lain, berikanlah rasa kepedulian kita materi maupun non materi karena dengan berbagi rasa peduli maka mereka yang merasa diperhatikan akan bangga menjadi masyarakat kota Sawahlunto, bangga akan moral pengambil kebijakan dan masyarakatnya yang penuh kepedulian. Hal ini juga akan mempererat tali silahturahim antara pengambil kebijakan dengan masyarakatnya. Harus ada yang berani menunjukkan bahwa kita bukanlah masyarakat yang individualis. Hal ini harus dimulai dengan diri sendiri, mengkritisi diri sendiri.

Kepedulianpun akan memiliki dampak yang sangat besar terhadap diri kita, dampak yang tak terlihat dipermukaan, yaitu kebahagiaan bathin, kebahagian atas pengetahuan bahwa kita sebagai manusia memiliki tujuan agar berguna bagi orang banyak. Kebahagian yang jauh lebih besar , kebahagian yang jauh lebih mulia.

Bukankah satu pertanyaan terbesar dalam hidup yang sedang kita jalani hari ini adalah :
untuk apa aku dilahirkan ke dunia ini?

Disinilah inti dari kepedulian tersebut, bahwa kita telah memiliki tujuan hidup. Beribu macam rasa kepedulian yang bisa kita berikan, namun hanya ada satu cara untuk menjadikannya berarti, yaitu disertai dengan rasa ketulusan. Maka lengkaplah kita menjadi masyarakat yang bermoral sosial.

Apa yang kita inginkan adalah membentuk karakter pengambil kebijakan yang  memiliki budaya saling peduli. sebuah efek domino positif, penyebaran virus yang baik. Mari kita perjuangkan  budaya saling peduli untuk menjadi karakter kita semua yang berada di kota ini, sehingga layak kita menyebutkan bahwa kita ini adalah bangsa yang berprikemanusiaan juga bangsa yang beradab.


 
Picture
Share tulisan dari: Fadillah Putra

GOOD Governance (GG) sebagai ramuan mujarab pembangunan internasional telah dipercaya lembaga-lembaga donor sejak lebih dari sepuluh tahun terakhir, namun sedikit sekali yang mengkaitkannya dengan krisis pangan global yang terjadi saat ini.

Chile, sebagai negara barometer ekonomi Amerika Latin mengalami penurunan daya beli rata-rata 20% hingga akhir tahun lalu (Economist/10/2007). Peter Smerdon, juru bicara World Food Program (WFP) untuk kawasan Afrika, mengatakan kenaikan harga pangan berkisar dua kali lipat di Afrika (Times/04/08). Di Indonesia, kita telah sama mearasakan kenaikan harga sejak awal tahun ini.

Berbagai spekulasi tentang sebab terjadinya krisis pangan ini – mulai dari maraknya perkebunan berorientasi biofuel, kenaikan harga minyak sebagai faktor produksi, hingga persoalan penurunan daya dukung lingkungan hidup – adalah bukti tentang rapuhnya (fragile) dunia kita. Ini juga merpakan momen yang tepat untuk mengevaluasi kerja lembaga donor internasional selama ini. Apakah rapuhnya fundamen ekonomi dunia ini merupakan bukti kegagalan proyek milyaran dollar yang disebut GG? Dan capaian MDGs tahun 2015 makin menjauh dari kemungkinan?

Berakhirnya Good Governance

Di Indonesia, penerapan konsep GG yang disponsori lembaga donor internasional telah berlangsung lama. Di tengah kekurangan di sana-sini harus diakui transparansi, partisipasi masyarakat, akuntablitas dan penegakan hukum di lingkup pemerintahan telah membaik dibandingkan sepuluh tahun terakhir. GG juga berhasil melewati garis demarkasi ideologi kanan versus kiri. Anggapan GG adalah alat lembaga neoliberal untuk melancarkan pembangunan kapitalisme dunia (Wilson, 2000) telah terpatahkan dengan dicetuskannya “Deklarasi Dakar” dalam pertemuan Socialist International di Dakar pada Juli 2004 yang juga mencantumkan GG sebagai agenda besar mereka.

Singkatnya, GG menjadi platform global tentang ke mana arah pembangunan dunia harus dicapai. Dengan inklusifnya negara, masyarakat sipil dan bisnis itu dianggap GG telah menerobos pertentangan antara paradigma pertumbuhan versus pemerataan. Dengan makin inklusifnya hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah maka oligopoli dan korupsi akan menurun dan kesejahteraan rakyat akan meningkat.

Inovasi-inovasi seperti pilkada langsung, musrenbang, penjaringan aspirasi masyarakat adalah merupakan hasil (output) dari penerapan GG. Dampaknya (outcome) adalah makin eratnya interaksi antara rakyat dengan negara terutama dalam distribusi anggaran.

Secara konseptual, seharusnya keberhasilan penerapan GG di berbagai dunia itu juga dibarengi dengan dampak kuatnya fundamental ekonomi rakyat. Kenyataannya, relasi antara kesejahteraan rakyat dengan GG tidaklah seindah teori. Makin merekatnya hubungan antara negara, bisnis dan rakyat ternyata tidak serta merta menguatkan fundamental ekonomi rakyat. Pukulan krisis pangan adalah bukti konkrit yang sekarang ada di depan mata.

Sound Governance: Arah Baru Pembangunan

Bila GG telah berhasil mengurangi kesenjangan di tingkat domestik, lantas bagaimana dengan kesenjangan internasional? Bila GG telah berhasil mengadilkan distribusi kekuasaan dan dana di tingkat lokal, apakah hal yang sama juga telah terjadi di tingkatan global? Bila orang miskin di negara berkembang telah memiliki media untuk bernegosiasi dengan orang kaya, apakah negara-negara miskin telah memiliki media yang sama? Berbagai prinsip ideal GG apakah juga sudah diimplementasikan dalam tataran internasional?

Pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebutlah yang mengilhami Ali Farazmand (2004) dalam menggagas konsep Sound Governance (SG) yang sekaligus membuka arah baru bagi pembangunan global ke depan. Setelah GG berhasil menginklusifkan hubungan si kaya dan si miskin di tingkat nasional, maka fase berikutnya adalah menginklusifkan hubungan negara kaya dengan negara miskin melalui agenda SG.

Sepuluh tahun lalu di depan Konferensi PBB, Presiden Tanzania Julius K. Nyerere, dengan lantang telah mengkritik habis-habisan GG yang dikatakanya sebagai konsep imperialis dan kolonialis. GG hanya akan mengerdilkan struktur negara berkembang, sementara kekuatan bisnis dunia makin membesar. Terlepas dari benar salahnya kritik sang Presiden, tapi gugatannya terhadap pengaruh struktur global terhadap reformasi pemerintahan inilah yang mengilhami Farazmand untuk tidak hanya terfokus pada tiga aktor (pemerintah, pasar dan civil society) tetapi juga kekuatan internasional.

Formula dasar Sound Governance adalah empat aktor lima komponen. Empat aktor sudah diketahui, yaitu membangun inklusifitas relasi politik antara negara, civil society, bisnis dan kekuatan internasional. Kekuatan internasional di sini mencakup korporasi global, organisasi dan perjanjian internasional. Sedangkan lima komponen adalah mencakup reformasi struktur, proses, nilai, kebijakan dan manajemen.

Term “Sound” menggantikan “Good” adalah juga dalam rangka penghormatan terhadap kenyataan keragaman (diversity). Saat istilah “Good” yang dipakai maka didalamnya terjadi pemaksaan standar nilai. Berbagai proyek dari World Bank, ADB dan UNDP tentang GG juga telah memiliki alat ukur matematis tentang indikator “Good”.

Konsep “Sound” itu bisa diartikan layak, pantas atau ideal dalam konteksnya. Dalam pepatah Jawa disebut empan papan. SG pada prinsipnya juga memberikan ruang bagi tradisi atau invoasi lokal tentang bagaimana negara dan pemerintahan harus ditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya dan konteks lokal. Tentu ukuran universal tentang kesejahteraan rakyat dan penghormatan hak dasar harus tetap ditegakkan