Picture
Pemilu sudah dekat.   Berbagai pihak menyikapi Pemilu dengan pola pikir, sikap dan tindakan berbeda.  Anggota dewan yang sedang menduduki jabatan tentu melihat Pemilu sebagai kesempatan memperpanjang masa bakti.  Yang belum duduk melihatnya sebagai peluang untuk mendapat kedudukan dan hak istimewa sebagai anggota dewan, bahkan yang paling naif sebagai lapangan pekerjaan, bukan wadah pengabdian. Perlombaan menarik hati rakyat sudah dimulai, baik dengan janji muluk,muka manis, dengan iming-iming uang atau sembako, bahkan menggunakan organisasi massa menekan pemilih. Baliho, spanduk dan billboard bertebaran, dan walaupun sudah ada aturannya, semua cenderung melanggar ketentuan.
Sebagian masyarakat melihat Pemilu sebagai kesempatan untuk mendapat uang tunai tanpa bekerja dan menerima  sembako gratis serta bentuk bantuan lainnya.    Ada pula oknum yangmendekati para caleg dengan janji membawa sejumlah massa dan meminta imbalan. Adapula yang seolah memaksa ingin menjadi tim sukses.   Ujung-ujungnya tim yang sukses, calegnya gigit jari.

Semua ulah tingkah tersebut adalah konsekuensi dari sistem pemilihan langsung yang kita anut sekarang.  Kita  meyakini bahwa inti dari demokrasi adalah pemilihan langsung, satu orang satu suara atau one man one vote.   Dalam demokrasi, memang keinginan rakyat berada di atas segalanya, sampai ada pepatah “vox populi vox dei”.  Demokrasi lebih lanjut kita terjemahkan sebagai keharusan untuk melaksanakan pemilihan wakil rakyat, presiden, maupun gubernur dan bupati serta walikota secara langsung.  Kita terlena, lupa bahwa demokrasi bukan tujuan, tetapi cara untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Banyak pengalaman yang menunjukkan bahwa pemilihanlangsung dan prinsip majority rules seringkali pelan-pelan tapi pasti membawa akibat buruk dalam penyelenggaraan Negara.   Contoh, Stalin dan Hitler setelah memegang kekuasaan, berkali-kali memenangkan pemilihan umum dengan selisih suara yang sangat besar, tentunya dengan menggunakan segala cara.   Kita tahu dari buku sejarah bagaimana mereka memerintah secara represif dan menjadi tirani. Di Negara asal demokrasi yang menjadi kiblat kita yaitu Amerika Serikat, sistem pemilihan langsung juga hanya menghasilkan pemimpin yang mediocre, biasa-biasa saja.   Di Indonesia, bahkan hal yang buruk terjadi.   Coba bandingkan kualitas pemerintahan Indonesia dari masa ke masa.   Sekarang korupsi lebih masif, terencana dan melibatkan lebih banyak pihak.   Hasil Pemilu langsung menghasilkan banyak kepala daerah yang akhirnya menjadi tersangka dan jumlahnya terus berkembang.  Banyak kepala daerah menjadi seperti raja kecil di daerah, membangun dinasti dan memperkaya diri.  Ada pula yang menjadi tirani dan tidak memperhatikan nasib rakyatkecil.   Sepertiga pejabat di daerah sudah menjadi tersangka. Dari 33 gubernur, sudah 19 yang menjadi tersangka.   Belum lagi mantan menteri, bahkan menteri dan anggota DPR dan DPRD yang menjadi tersangka, terdakwa, bahkan terpidana.

Dengan demikianmenjadi pertanyaaan bagaimana seharusnya kita semua menyikapi sistem pemilihan langsung yang kita anut saat ini agar membawa manfaat yang tinggi dalam mencapai tujuan bernegara.

Prinsip utama yangharus kita pegang dalam berdemokrasi adalah “Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.   Dari rakyat berarti yang memerintah adalah yang dipilih dari rakyat.    Oleh rakyat berarti yang dipilih adalah di antara calon yang memenuhi persyaratan, kompetensi dan integritas untuk mencalonkan diri dan kemudian yang terpilih adalah yang terbaik.   Untuk rakyat berarti kekuasaan yang diperoleh adalah benar-benar untuk kepentingan masyarakat, bukan kepentingan pribadi atau golongan.   Masalah yangterjadi saat ini adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat akan demokrasi.  Pendidikan politik masyarakat sangat kurang, bahkan nyaris tidak ada.  Kelompok menengah yang seharusnya turut memberikan pendidikan politik pada masyarakat seolah tidak peduli, dan cenderung memikirkan diri sendiri serta melanjutkan tradisi pembodohan yang menina bobokkan masyrakat dengan gelontoran uang. Sebagian Media masa pun cenderung menjadi alat politik dan mengejar keuntungan sehingga tidak memberi ruang yang sama bagi setiap partai dan calon legislatif.   Yang membayar diekspose, yang tidak mampu nanti dulu.   Mereka lupa fungsi hakiki pers sebagai teacher, watcher dan forum, atau mendidik, mengawasi dan sebagai tempat bertemu dan berkembangnya pendapat dan pemikiran.   Dengan demikian tidak heran bila rakyatkehilangan panutan, tidak mempunyai pegangan sehingga tersesat dan bingung menghadapi Pemilu.   Masih cukup banyak masyarakatyang mengartikan demokrasi sebagai kebebasan individu tanpa batas sehinggabebas berbuat apapun, termasuk melanggar hukum, tidak perlu disiplin dan kurangbertanggungjawab.   Politik uang dianggapwajar, menyebabkan yang terpilih sering bukan calon yang mumpuni.   Karena terpilih dengan memakai uang, mereka sering bertindak seperti “dagang sapi”.  Suara mereka beli, sehingga berbuat sekehendak mereka, jauh dari tanggung jawab dan kewajiban melaksanakan kekuasaan untuk kepentingan masyarakat. 

Rasanya sudah saatnya kita membangun kesadaran bersama bahwa demokrasi hanya akan berjalan baik bila ada akuntabilitas seperti yang dikatakan seorang pakar politik: “There is onequality, perhaps above all others, which is essential if a state is to bedemocratic and that is accountability”. Menurut hemat saya, inti akuntabilitasadalah tanggung jawab, keterbukaan, kejujuran, keadilan dan kebenaran dariseluruh masyarakat.


 
Picture
Dalam teori kekuasaan (power), partai politik merupakan elemen penting, terlepas Negara tersebut menganut sistem pemerintahan apapun juga. Pada tataran konsep ideal, banyak para pakar berpendapat bahwa politik sebagai ilmu (science) merupakan sebuah upaya perubahan kearah yang lebih baik. Aristoteles menyatakan bahwa keadaan tersebut adalah kebajikan (virtue), dimana “kebajikan adalah pengetahuan yang tertinggi”.  Hal inilah yang menyebabkan politicos merupakan segolongan orang yang ingin berbuat kebajikan kepada masyarakat. Sehingga dalam konsep ideal, politik yang masih abstrak harus diimplementasikan dengan dicapai melalui elemen media yang konkrit. 

Politik memiliki definisi yang beragam, sebagaimana dikatakan oleh Paul Conn, bahwa “politik adalah konflik” (politics is conflict), dimana pertarungan kekuasaan adalah pertarungan yang mempertaruhkan konflik kepentingan.

Sementara itu menurut Harold Lasswell, bahwa politik adalah “siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana” (politic is who gets what, when and how). Dalam hal ini terlihat kepentingan kekuasaan yang sangat dominan. Bila kita asumsikan politik merupakan taktik yang konkrit.

Hanya dalam implementasi partai politik sebagaimana didefinisikan oleh Rodee bahwa lebih merupakan “sekumpulan orang-orang yang memiliki ideologi yang sama”. Hal ini pula yang menjadikan asumsi bahwa sekumpulan orang-orang tersebut lebih sering memperjuangkan kepentingannya lebih dulu, bahkan tatkala sudah berhasil duduk dalam parlemen pun lebih cenderung berjuang untuk individu dan golongannya sendiri bukan untuk kepentingan umum.

Bila dikaji lagi fungsi-fungsi partai politik lebih kompleks lagi yang antara lain untuk: rekrutmen politik, komunikasi politik, agregasi dan artikulasi politik, sosialisasi politik yang terdiri dari pendidikan politik dan indoktrinasi serta pengaturan konflik (manajemen konflik).

Dari fungsi-fungsi di atas dapat kita lihat memang kepentinganlah yang menjadi latar belakang sebuah partai politik. Dalam sistem parlementer, dimana sebagai contohnya adalah Inggris, peran sentral partai politik sangatlah vital. Perdana menteri (prime minister) merupakan ketua golongan mayoritas di parlemen, tetapi dengan sistem “tradisi gentleman Agreemant” yang telah lama ditegakkan keberadaan dan sepak terjang partai politik di Inggris dapat terkontrol dengan cermat.

Kalaupun ada oposisi dalam parlemen, yang terbentuk adalah oposisi loyal. Pemerintah yang berjalan menganut semangat “for people”, dimana terjadinya langkah-langkah penggoyangan (seperti mosi tidak percaya) pemerintah diselesaikan dengan meminta diadakan pemilihan umum sebagai langkah meminta mandat rakyat disetujui atau tidak untuk berkuasa.

Berbeda dengan sistem “presidensil”, dimana di Amerika Serikat jabatan seorang presiden tidak harus seorang ketua partai politik. Yang didominasikan adalah kandidat yang memiliki kapabilitas dan akseptabilitas.

Dalam sistem yang dibangun dengan dominasi kepartaian sebagaimana di Negara-negara berkembang yang tercipta perilaku legislative yang “patronage-client”. Dalam patronage-client, partai sebagai pelindung yang memberikan sumber-sumber untuk perkembangan lebih lanjut yang akhirnya menimbulkan semangat partai diatas segala-galanya.

Di Indonesia saat ini yang semestinya menganut sistem presindensil sepertinya perlu dijaga agar tidak terjadi praktek Presidensil dengan cita rasa Parlementer. Tugas para politisi yang akan duduk di kursi dewan yang terhormat nanti yang seyogyanya dapat mengembalikan kereta api kepada jalur relnya yang tepat dan menjaga agar terhindar dari musibah yang sering terjadi sehingga dapat membawa penumpangnya sampai di tempat tujuan dengan selamat, aman, nyaman dan bahagia. Partai Politik tentunya harus mampu menjadi lokomotif perubahan dengan membawa segenap rangkaian gerbongnya menuju tempat yang diinginkan.
(dari berbagai sumber bacaan)

 
Picture
Menyambut ulang tahun ke 121 Kota Sawahlunto yang jatuh pada tanggal 1 Desember2009 sudah mulai kelihatan bentuk dan tekstur kota yang mulai dinamis antara pembangunan infrastruktur baru serta perpaduannya dengan bangunan2 peninggalan kolonial.Tapi selaras dengan itu...Mulai munculnya permasalahan sosial antara lain masalah pemukiman, dan susunan bangunan fisik di perkotaan yang tidak teratur menjadikan kota terlihat tidak rapi. Belum lagi masalah ketidakcukupan atau ketidakterlayaninya masyarakat akan kebutuhan air bersih dan listrik di Kota Sawahlunto.

Semua ini salah satunya disebabkan pembangunan kota yang terjebak pada penekanan tertentu dan mengabaikan sektor lain. Sehingga kota tidak mampu memberikan jaminan kualitas hidup yang baik bagi warganya. Padahal seharusnya pembangunan kota dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh sehingga sebuah kota nyaman untuk ditinggali.

Pembangunan kota saat ini, sedang mengarah kepada penciptaan sebuah kota yang berkelanjutan dimana kota tersebut mampu memenuhi kebutuhan masa kini tanpa melupakan kemampuan generasi masa datang dalam memenuhi kebutuhannya. Sehingga sebuah kota harus bertujuan agar ‘user friendly’ dan bersumberdaya (resourceful), dalam artian tidak hanya dalam bentuk efisiensi energi, tetapi juga pada fungsi dan tempat kehidupan. (Elkin, McLaren, Hillman, 1991). Kemudian suatu kota juga harus bertujuan (atau sistem perkotaan) secara menerus mendorong agar secara economis lebih produktif, stabil dan inovatif, namun dengan menggunakan sumberdaya pada tingkat yang rendah/hemat (WHO, 1992) dan melibatkan pencapaian aspirasi pembangunan kota, dengan mempertimbangkan kondisi sediaan sumberdaya alam dan buatan tidak terganggu sehingga dalam jangka panjang menyebabkan ancaman bagi masa depan. (Breheny, 1990).

Menurut Graham Haughton & Colin Hunter (1994), pembangunan kota juga harus diarahkan pada sustainable development yang memiliki tiga prinsip dasar yaitu Pertama prinsip kesetaraan antar generasi (inter-generation equity). Kesetaraan antara generasi harus menjadi pertimbangan semua kegiatan manusia, dampak kemampuan generasi masa datang dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasinya harus dipertimbangkan. Hal ini mengacu pada prinsip masa depan. Kedua prinsip keadilan sosial (social justice). Prinsip ini berkaitan dengan kemiskinan, dimana kemiskinan dipandang sebagai sebab utama kemerosotan (degradasi). Sustainability mempersyaratkan bahwa kontrol terhadap distribusi sumber-daya harus dilaksanakan secara merata, dengan memperhitungkan kebutuhan dasar dan aspirasi bersama. Partisipasi dalam strategi dan kebijakan lingkungan secara meluas merupakan unsur keterpaduan dalam mencapai tujuan ini, dikenal juga sebagai kesetaraan intra-generasi. Ketiga prinsip tanggung-jawab transfrontier. Pada tingkat yang lebih luas, dibutuhkan pendampingan pada lingkungan global. Lebih khusus, polusi transfrontier perlu dikenali dan dikontrol. Bila dimungkinkan, dampak kegiatan manusia harus tidak melibatkan pergeseran geografis dalam persoalan lingkungan yang tidak dikompensasikan. Negara kaya seharusnya tidak mengeruk sumberdaya secara berlebihan di kawasan lain, menyebabkan ketimpangan ekonomi regional dan ekosistem. Hal yang sama juga biaya lingkungan kegiatan perkotaan harus tidak merambah kawasan diluar batas metropolitan, berdampak pada subsidi bagi pertumbuhan

Belajar dari Pengalaman Kota Bogota

Bogota, ibukota Kolombia, Amerika Selatan, dengan jumlah penduduk 7 juta jiwa, merupakan kota yang pada awalnya sering disebut sebagai kota narkoba, penuh dengan korupsi, penculikan dan tindak kejahatan lain. Pada tahun 1995 saja ada 3.363 pembunuhan dan 1400 kematian karena kecelakaan lalulintas. Sebagai bentuk akumulasi dampak perang saudara, ledakan populasi serta kelalaian tatakota. Orang-orang kaya memagari taman-taman publik di areanya. Mobil-mobil mengambil alih trotoar sebagai tempat parkir. Polusi udara bersaing dengan Mexico City. Karyawan dari selatan setiap hari menghabiskan waktu empat jam untuk menuju tempat kerjanya di utara. Selain itu, Bogota juga memiliki tingkat pengangguran 20%, dan 55% tingkat perekonomian masyarakatnya dibawah garis kemiskinan dengan penurunan nilai ekspor dan politik yang tidak stabil. Kota dengan tingkat kerusakan dan polusi yang buruk ini tidak lebih baik dari Jakarta. Bahkan, mungkin jauh lebih buruk kondisinya.

Namun dalam kurun waktu kurang dari 7 tahun, Bogota telah berubah menjadi kota yang layak huni, termasuk tersedianya prasarana pejalan kaki yang luas, prasarana rute sepeda yang baik dan panjang serta prasarana dan sarana angkutan umum yang handal.

Perubahan ini sejak terpilihnya Penalosa sebagai walikota Bogota. Pada tanggal 22 Desember 1999, walikota Penalosa mengawali sepak terjangnya dengan memberlakukan pelarangan penggunaan kendaraan bermotor di jalan raya ('car free day') dan memaksa jutaan orang untuk menikmati lampu-lampu natal dari sepeda atau berjalan kaki dengan aman.

Langkah berikutnya adalah menerapkan hari bebas kendaraan pada setiap hari kerja. Ketika itu walikota meminta agar kebijakan tersebut disiapkan dalam waktu sebulan, sementara para pakar memerlukan waktu sosialisasi selama 6 bulan.

Penalosa melakukan referendum untuk menentukan kebijakan 'car free day' dengan janji akan membatalkan kebijakan 'car free day' jika memperoleh suara kurang dari 60%, walaupun akhirnya 61% menyetujui untuk dilanjutkan.

Pada tanggal 24 Februari 2000, pertama kalinya diterapkan Hari Bebas Kendaraan di Bogota, dimana 7 juta penduduk dapat menikmati jalan raya yang aman dan udara yang nyaman. Saat itu satu setengah juta penduduk melakukan perjalanan dengan bersepeda dan berjalan kaki.

Dalam referendum lain yang dilakukan pada bulan Oktober 2000, 70% menginginkan dilanjutkannya 'Hari bebas kendaraan', 51% mendukung gagasan untuk dilakukan setiap hari selama 6 jam.

Yang menarik adalah alasan yang di kemukakan oleh Penalosa bahwa "Semua ini dilakukan untuk anak-anak. Jika kita menciptakan anak-anak yang bahagia, maka kita akan mempunyai segalanya, di samping masalah kesetaraan (equity)." Tambahnya lagi, "Setiap dollar harus dapat digunakan untuk membahagiakan anak-anak. Dari pada membangun jalan baru, kita harus membangun kota yang adil bagi semua orang".

Saat ini Bogota memberlakukan kebijakan perbaikan prasarana angkutan umum dimana dananya diperoleh dari komponen pajak BBM yang tinggi. Kebijakan ini dibarengi dengan kebijakan pembatasan kendaraan dengan sistem plat nomor dan tarif parkir yang tinggi, terutama di perkotaan. Ternyata tanpa kendaraan bermotor, aktivitas pendidikan dan perekonomian sama sekali tidak terganggu.

Perolehan dana dari peraturan kendaraan pribadi berhasil dimanfaatkan untuk pembangunan TransMilenio (sejenis busway), pendidikan (lebih 200.000 anak disekolahkan, memperbaiki 150 sekolah, membangun 50 sekolah baru, 3 perpustakaan besar, pembagian 14.000 komputer sekolah yang terhubung ke internet dan perpustakaan); pembangunan 1.200 taman dengan lebih 100.000 pohon; membangun dan merekonstruksi ratusan kilometer trotoar; lebih 300 kilometer jalur sepeda; dan menyalurkan air ke ratusan ribu penduduk miskin. Semua itu hanya dalam tiga tahun masa jabatannya.

Masalah lain yang menarik adalah perbaikan sistem angkutan umum yang terlihat dengan adanya 'Transmilenio'. Sistem ini mengurangi 1 sampai 2 jam waktu tempuh pada koridor yang sama.

Perencanaan sistem Transmilenio dimulai pada 13 Oktober 1999, pada tahun-tahun terakhir pemerintahan walikota Penalosa. Transmilenio diperkenalkan pada 18 Desember 2000 dan dioperasikan sejak 6 Januari 2001.

Tidak hanya itu, pemerintah kota juga mewajibkan seluruh bangunan di tepi jalan raya mundur 3 meter atau lebih demi pelebaran jalan. Maka, kemudian terdapat 285.500 meter persegi ruang publik berhasil ditata kembali dan dibangun untuk trotoar, jalur pedestrian, ruang terbuka hijau, dan lorong.

Bogota saat ini memiliki 11 taman kota, 3.149 taman ukuran sedang, dan 323 taman kecil (pocket parks). Semuanya berfungsi sebagai paru-paru kota, membuat kota menjadi sejuk, teduh sekaligus lapang karena memiliki banyak ruang terbuka.

Penggusuran mendapat perlawanan dari warga melalui berbagai aksi unjuk rasa. Dia dicaci maki, popularitasnya sempat merosot tajam menjadi hanya 16%, tetapi situasi itu tidak sampai chaos.

Sebab, sebelum mengambil keputusan tersebut, Penalosa selaku Walikota Bogota telah membangun dialog seutuhnya dengan warka setempat untuk menumbuhkan iklim partisipasi publik. Dia terus memperlihatkan karakternya yang konsisten, kepemimpinan, mengedepankan koordinasi, dan komprehensif dalam konsep.

Berbagai perubahan yang dicapai Bogota telah menunjukkan bahwa untuk menciptakan sebuah kota yang baik sangat bergantung pada visi, misi dan keinginan politik dari pemerintah yang berkuasa. Penalosa sebagai walikota Bogota saat ini sangat berperan besar dalam perubahan yang terjadi di Bogota. Hal ini menunjukkan bahwa aspek politik memiliki peran yang sangat besar. Dengan kata lain bahwa kewengan secara politik memang harus digunakan untuk membuat perubahan.

 
Picture
Mungkin,tak banyak pemimpin kita yang mengerti arti kepemimpinan dan filosofi kepemimpinan. sehingga, terlalu sering kita dapati, pemimpin kita yang nyata-nyata kegagalan dan ketidakbecusannya dalam memimpin masih berkilah sukses dalam memimpin dan menganggap dirinya layak untuk terpilih kembali sebagai pemimpin.

Padahal, dasar utama dari kepemimpinan adalah kepercayaan atas amanah dan kemampuan untuk mengaktualisasikan diri dalam mengembang amanah yang dipimpinnya.

Ketika seorang pemimpin telah merasa sukses dan berhasil dalam kepemimpinannya maka sesungguhnya dia telah jatuh dan gagal dalam memimpin karena kepemimpinan adalah amanah yang tujuan utamanya adalah bekerja dan berkreasi demi mencapai tujuan tertentu yakni pencerahan dan kemakmuran bagi yang telah menetapkannya sebagai pemimpin.sehingga, keberhasilan seharusnya tidak pantas untuk dibanggakan karena dengan tujuan keberhasilan itulah sesungguhnya mengapa dia dipilih.

Pemimpin dipilih untuk menjadi kepala dan mata bagi yang dipimpinnya untuk mengatasi kendala yang ada dalam proses perjalanan. Artinya,masalah itu telah ada dan tinggal mencari seseorang yang punya visi dan misi yang jelas untuk menyelesaikan masalah tersebut. dan orang yang mengajukan dirinya untuk menjadi pemimpin adalah orang yang merasa layak untuk dipilih dalam mengatasi masalah yang ada dimana dia memiliki visi dan misi yang jelas. bukan untuk mencari solusi dan mengumpulkan berbagai pendapat guna mengatasi masalah yang ada. dia tidak dipilih untuk diskusi dan sharing ide dalam mengatasi masalah tapi dia dipilih untuk bertindak mengatasi masalah dan memiliki visi jelas untuk masalah berikutnya yang pasti akan muncul. andai pemimpin dipilih untuk menjadi ketua diskusi dan ketua sharing pendapat maka saya berpikir kebanyakan orang pasti bisa.

Padahal,pemimpin adalah orang yang terbaik diantara yang baik dalam hal ini visi dan misi serta semangat kerja kerasnya.

beberapa orang yang telah menjadi pemimpin dan mengerti filosofi kepempinan, mengajarkan pada kita bahwa ketika dia merasa tidak sanggup lagi dan atau telah gagal dalam mencapai visi dan misi kepemimpinannya maka dia memilih mengundurkan diri dari kursi empuknya. Ini bukan sifat pengecut atau lari dari masalah tapi sesungguhnya dia memahami dengan benar bahwa masih ada orang lain yang lebih bisa dari dia. Dan dia tidak perlu bersikeras untuk merasa bisa, padahal sesungguhnya telah nyata kegagalannya, yang mengakibatkan regenerasi terhambat. Tindakan ini bukan pula bentuk dari kelemahan baik jiwa maupun pemikiran tapi sesungguhnya adalah bentuk kebesaran jiwa dalam memahami potensinya dan potensi orang yang ada disekitarnya.Tindakan ini juga bentuk pemikiran yang matang dan melihat jauh kedepan sehingga dia bisa melihat kompleksitas masalah yang akan timbul yang mungkin akan menuntut pemikiran dan tindakan ekstra cepat. Dengan visi seperti itu, maka dia memberikan tongkat estafet kepada yang lebih segar dan lebih visioner.

Beberapa negara atau organisasi yang punya sejarah kepemimpinan sangat lama, kemudian memahami tingkat kejenuhan tersebut dan mecoba membentuk sistem yang mengatur siklus kepemimpinan. Maka dibeberapa tempat, sering kita mendengar adanya aturan pembatasan umur seorang pemimpin, pembatasan masa kepemimpinan, pembatasan lama atau periode banyaknya memimpin. ini bertujuan untuk memberikan ruang yang seluas-luasnya pada proses regenerasi di tempat tersebut.

sejarah juga menunjukkan bahwa bangsa yang besar sekarang ini adalah bangsa yang pernah jatuh,pernah terpuruk,pernah terjajah atau pernah mengalami siklus lama dalam regenerasi kepemipinannya.

Sejarah juga menunjukkan bahwa bangsa yang besar sekarang ini adalah bangsa yang proses regenerasi kepemimpinannya berjalan dengan cepat dan alami. bahkan beberapa diantaranya diisi dengan cerita pengunduran diri pemimpinnya. Mereka yang terjajah belajar dari keterjajahannya sedang mereka yang pemipinnya  mengundurkan diri belajar menghargai kebesaran jiwa pemimpinnya sehingga tidak mesti harus berakhir dengan tragis sebagaimana sering kita lihat pada pemimpin yang tidak peka dan sensitif arus bawah yang tidak pro lagi dengan visi kepemimpinannya.

Beberapa kisah mengajarkan pada kita, pada titik jenuh tertentu ketika seorang pemimpin telah lama berkuasa dan tidak peka lagi maka dia akan diakhiri dengan cara yang lebih tragis. Akibatnya,respek penghormatan yang seharusnya dia dapatkan karena jasa kepemimpinannya selama ini justru berubah menjadi cacian dan hinaan. Masa istrahat yang seharusnya tenang berubah menjadi keriuhan masalah yang diakibatkan oleh ekses dari kepemimpinannya yang lama.belum lagi kalau selama kepemimpinannya itu dibumbuhi banyak cerita yang tidak sedap semisal pelanggaran moral,pelanggaran hak orang lain dan lain sejenisnya.

Asasinya, kepemimpinan untuk mensejahterahkan semua pihak baik lawan maupun kawan. orang yang tidak mengerti kepemimpinan dengan baik akan mensejahterakan salah satu pihak saja dalam hal ini kawan yang seperjuangan dengannya. ini sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari kita.

Sejarah bangsa Indonesia cukup memberikan contoh yang luar biasa banyaknya terkait tulisan ini.tinggal anda memilah siapa dan bagaimana dia pada akhirnya.

wasalam


 
Picture
Leader adalah pemimpin yang mampu memimpin minimal dari diri sendiri, amanah, kredibel, akuntabel, serta responsibel. Pemimpin itu mampu, tegas, tegar, tidak takut, mengambil resiko dalam mengambil kebijakan. Pemimpin itu siap pakai dalam setiap kondisi. Pemimpin adalah seorang penunjuk jalan. Ibarat ia seorang sopir dialah yang mengendalikan mobil dan memberi rasa nyaman pada penumpang. “Kepemimpinan suatu organisasi tidak bisa terlepas dari ideologi yang diemban. Ideologilah yang akan memepengaruhi arah gerak dan target yang ingin dicapai dalam kepemimpinan. Sebuah ideologi haruslah memiliki pemikiran mendasar yang memancarkan pemikiran-pemikiran lainnya. Pemikiran mendasar itu sendiri merupakan pemikiran yang tidak didahului oleh pemikiran lainnya dan hanya terbatas pada pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan. Menurutnya, pemikiran mendasar inilah yang disebut dengan akidah,” . Diungkapkan, pendapat tersebut mencerminkan bahwa seorang pemimpin harus berpemikiran ideologis. Artinya, ia mampu mengatasi berbagai persoalan dengan cara penyelesaian dengan padangan yang tepat. Ketika seseorang tidak berpemikiran ideologis, maka cara bertindak dan berpikir cenderung bersifat pragmatis. Sikap pragmatis akan memunculkan pemimpin yang bersifat kompromi pada sistem yang rusak, tidak revolusioner, pasrah pada keadaan, dan cenderung menggunakan momen sesaat untuk menyelesaikan persoalan. “Pemimpin ideologis akan tercermin dalam kinerjanya terkait urusan rakyat. Segala permasalahan yang terkait akan diberikan solusi yang tepat sehingga rakyat merasa dihargai dan diurusi. Tidak ada salahnya jika mengambil contoh pemimpin yang bersifat ideologis. Saya mencontohkan sosok DEVI RAZAKI,S.Hint, beliau merupakan contoh pemimpin muda yang ideologis,” . Ideologi yang diemban oleh Devi merupakan ideologi yang benar karena menunjukkan esensi kodrati manusia, yakni kebersamaan (kebangsaan). Setiap manusia senantiasa menginginkan kehidupan yang damai, oleh karenanya kebersamaan perlu terus menerus dibina. Hal senada juga pernah saya ungkapkan, Ciri pemimpin yang ideologis adalah belajar secara terus-menerus. Pada saat yang bersamaan tampil sebagai seorang pemimpin tangguh, tulen, dan efektif. Pengaruhnya masih tetap kuat dan mendalam serta berakar. Wujud dari Ideologi ini adalah kaderisasi yang berkelanjutan. malah dengan tegas saya katakan bahwa Devi Razaki adalah contoh pemimpin yang komit terhadap kaderisasi. Sejak tahun 1991 hingga sekarang (kurang lebih dua puluh tiga tahun) ia konsisten untuk memperjuangkan idealismenya dan itu yang membuat saya tidak ragu untuk berdampingan dengannya.Karena berbicara, share dengannyalah saya yakin untuk mewujudkan karakteristik yang saya kagumi dan mau membantu saya serta anda juga untuk mengembangkan karakteristik tersebut, sehingga kita semua bisa meraih sasaran serta mewujudkan cita Para Pemimpin Muda.... (*)

 
Picture
Kekecewaan masyarakat akibat perilaku politik yang ditunjukkan para pemimpin baik di lembaga eksekutif maupun di lembaga legislatif sudah sangat mengerikan, tidak pernah luput dari pemberitaan media tentang kejadian-kejadian mereka yang merugikan dan membuat kecewa masyarakat. Dan yang paling mengerikan adalah wabah korupsi yang kian menggila sampai pada lembaga yang seharusnya menegakkan supermasi hukum di Indonesia. Pengamat Indonesia dari Northwestern University (Amerika Serikat), Jeffrey A. Winters menyebutkan bahwa demokrasi berjalan dengan amat maju di Indonesia. Indonesia adalah negeri paling demokratis di Asia Tenggara. Tapi menurut Winters kemajuan demokrasi itu tak disertai dengan tegaknya hukum. Akibatnya korupsi merajalela dan menyebarkan rasa ketidak-adilan yang meluas di kalangan rakyat. Apakah hal ini adalah kesalahan generasi yang saat ini mempimpin? Tentunya kita tidak mendikotomi hal tersebut! Sebut saja banyak tokoh-tokoh politik muda yang justru terlibat kasus korupsi dan terjerat pada praktek dinasti politik. Namun saya berpikir harus secepatnya generasi muda mengambil alih tampuk kepemimpinan, dan kaum terdahulu menjadi mentor yang baik untuk melanjutkan perjuangannya yang didasari kepentingan bangsa dan negara. Dan kaum muda yang bermasalah, sudah seharusnyalah sadar diri untuk tidak lagi melibatkan diri yang hanya akan mempersulit recovery atau perbaikan negara dan pemerintahan ke arah yang lebih baik.

Memang seharusnya kita tidak membicarakan banyak hal tentang keburukan dan kelemahan orang lain, karena sesungguhnya di setiap manusia itu selalu ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun kita tetap harus belajar dari pengalaman, bahwa tidak akan berubah suatu kaum apabila kaum tersebut tidak mau merubahnya sendiri. Kebersamaan antar satu kaum yaitu seluruh bangsa Indonesia seharusnya diperkuat, bahwa kita sekarang ini perlu membuat percepatan dalam perubahan Indonesia yang lebih baik. Sehingga diperlukan kesadaran dan kerelaan yang tinggi dari saudara-saudara kita yang memiliki agenda yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri dan kelompoknya.

Kita harus sadar pula bahwa saat ini Bangsa Indonesia sedang dalam pengamatan suatu kaum yang menginginkan Indonesia tidak memiliki kekuatan untuk maju, mereka berupaya membuat bangsa ini bodoh, bangsa ini menjadi sapi perahan mereka, bangsa ini akan terus dihalangi oleh berbagai strategi yang akhirnya memecah belah bangsa. Para pendiri bangsa ini sudah sejak lama memikirkan dan mengkhawatirkan keadaan tersebut, mereka akan sedih apabila bangsa ini hancur dan kehilangan generasi penerus yang paham terhadap konsep bangsa.

Tentunya para kawula muda yang jiwanya masih berhembus rasa kebangsaan harus bersatu-padu dan bahu-membahu menciptakan kondisi agar muncul tokoh-tokoh baru yang tidak sekedar populer karena media, tapi yang lebih penting adalah mereka bebas kepentingan dan semata-mata berharap ridho Tuhan dalam membuat bangsa ini lebih baik. Jati diri bangsa bukan sekedar slogan yang harus diingat saja, tetapi harus dapat dipahami secara arif dan bijaksana. Kita harus memahami sepenuh hati dan segenap jiwa agar terhindar dari sekedar alat politik semata.

Masih banyak sebenarnya diantara masyarakat kita kaum yang mumpuni dalam memahami jati diri bangsa dan mereka sementara ini berdiam diri dan tidak mau menyombongkan diri untuk sekedar berbicara atau cari perhatian. Mereka memegang teguh pondasi yang diamanatkan dari kaum sebelumnya, untuk nanti saatnya berbuat sesuai dengan kemampuan dan tugasnya masing-masing. Beberapa hasil diskusi dan mempelajari fenomena ke depan, bahwa bangsa Indonesia sebenarnya cukup mampu menjadi bangsa yang besar dan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Dan semua itu mengarah kepada dinanti-nantikannya kemunculan pemimpin yang memiliki konsep kepemimpinan baru dari kalangan generasi muda.

Paling tidak, ada tiga karakter pemimpin yang diharapkan masyarakat:

Pertama : Perencana.
Masyarakat membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki kapasitas intelektual memadai dan menguasai kondisi makro nasional dari berbagai aspek, sehingga dapat menjaga visi perubahan yang dicitakan bersama. Kemampuan melakukan implementasi strategi yang didasari pada konsep strategis dalam merencanakan setiap langkah yang sesuai dengan visi misi perubahan yang berlandaskan pada filosofi terbentuknya Bangsa Indonesia.

Kedua : Pelayanan.
Masyarakat rindu figur pemimpin yang seorang pekerja tekun dan taat pada proses perencanaan yang sudah disepakati sebagai konsensus nasional, menguasai detil masalah kunci kebangsaan dan mampu melibatkan semua elemen yang kompeten dalam tim kerja yang solid. Sesungguhnya setiap orang yang masuk pada lembaga-lembaga negara tersebut adalah sebagai pelayan masyarakat, bukan orang yang gila kekuasaan dan kehormatan.

Ketiga  : Pembina.
Masyarakat berharap pemimpin menjadi tonggak pemikiran yang kokoh dan menjadi rujukan semua pihak dalam pemecahan masalah bangsa, yang setia dengan nilai-nilai dasar bangsa dan menjadi teladan bagi kehidupan masyarakat secara konprehensif. Kita tidak boleh terombang-ambing dalam skenario asing yang mengganggu kedaulatan dan jati diri bangsa.

Pemimpin harus dapat membangkitkan semangat rakyatnya untuk bersama-sama keluar dari berbagai permasalahan bangsa. Untuk menumbuhkan tipe kepemimpinan baru tersebut, dibutuhkan sebuah proses belajar yang berkelanjutan (sustainable learning process) dalam berbagai dimensi.

Pertama, dimensi belajar untuk menginternalisasi dan mempraktikan nilai-nilai baru yang sangat dibutuhkan bagi perubahan kondisi bangsa sehingga membentuk karakter dan pola perilaku yang positif sebagai penggerak perubahan.

Kedua, belajar untuk menyaring dan menolak nilai-nilai buruk yang diwarisi dari sejarah lama maupun yang datang dari dunia kontemporer agar tetap terjaga karakter yang otentik dan perilaku yang genuine.

Ketiga, belajar untuk menggali dan menemukan serta merevitalisasi nilai-nilai lama yang masih tetap relevan dengan tantangan masa kini, bahkan menjadi nilai dasar bagi pengembangan masa depan.
Namun kepemimpinan baru bukanlah proyek trial and error. Melainkan upaya pengembangan potensi dengan dihadapkan pada kenyataan aktual. Krisis ekonomi-politik yang masih terus berlanjut menuntut tokoh yang kompeten di bidangnya dan memiliki visi yang jauh untuk menyelamatkan bangsa dari keterpurukan. Bencana alam dan sosial yang terjadi silih berganti menegaskan perlu hadir tokoh yang peka dan cepat tanggap terhadap penderitaan rakyat serta berempati dengan nasib mayoritas korban. Ketiga, tantangan lintas negara di era informasi membutuhkan urgen kesadaran akan masalah-masalah dunia yang mempengaruhi kondisi nasional dan jaringan yang luas dalam memanfaatkan sumber daya.

Keempat, goncangan dalam kehidupan pribadi dan sosial mensyaratkan adanya kemantapan emosional dan spiritual dari setiap pemimpin dalam mengatasi problema diri, keluarga, dan bangsanya. Tipe pemimpin baru seperti ini bukan hanya dibutuhkan segera di pentas nasional. Tapi, juga di tingkat lokal. Karena itu, bangsa ini membutuhkan secara masif proses yang outputnya bisa diuji di tingkat regional bahkan global. Indonesia tidak mungkin memainkan peranan di arena antar bangsa tanpa anak-anak bangsa yang memiliki kualitas kepemimpinan yang mumpuni.

Diolah dari berbagai sumber dan diskusi.

 
Picture
"Bersabarlah kepada setiap orang, tetapi lebih bersabarlah kepada dirimu sendiri. Janganlah gelisah karena ketidaksempurnaanmu, dan bangunlah selalu dengan perkasa dari suatu kejatuhan." ~ Andrio An (R10)

Tersentak hati melihat ketika sebuah Empati/Kepedulian sudah tidak lagi dimiliki oleh Pemerintah/penguasa yang notabene harus memiliki sebuah kepedulian terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Terlalu besar cakrawala cara berfikir yang saya bayangkan apabila ini semua berbicara tentang maslah bangsa karena sangat-sangat disadari mungkin terlalu jauh domain itu untuk dikejar dengan kapasitas yang ada.Cukup hanya berfikir dengan realita yang ada. Berupaya menyederhanakan mindset untuk hanya berfikir selingkupan sebuah kota kecil yang bernama Sawahlunto saja. Sebuah Kota tempat saya lahir dan dibesarkan. Sebuah kota yang selalu mengetuk  sebuah asa untuk bisa berbuat yang terbaik bagi kota ini lewat sebuah Kepedulian.

Bila kita berandai-andai, bagaimana cara kita mensejahterakan kota ini beserta masyarakatnya, maka dengan cara berbuat yang terbaik serta sebuah kepedulian, disertai sikap kritisi terhadap pengambil kebijakan  agar tersalur apa yang sesungguhnya menjadi keinginan masyarakat kota dalam kerangka kemashlatan umat. Begitu juga bila kita menginginkan kebahagiaan orang lain, berikanlah rasa kepedulian kita materi maupun non materi karena dengan berbagi rasa peduli maka mereka yang merasa diperhatikan akan bangga menjadi masyarakat kota Sawahlunto, bangga akan moral pengambil kebijakan dan masyarakatnya yang penuh kepedulian. Hal ini juga akan mempererat tali silahturahim antara pengambil kebijakan dengan masyarakatnya. Harus ada yang berani menunjukkan bahwa kita bukanlah masyarakat yang individualis. Hal ini harus dimulai dengan diri sendiri, mengkritisi diri sendiri.

Kepedulianpun akan memiliki dampak yang sangat besar terhadap diri kita, dampak yang tak terlihat dipermukaan, yaitu kebahagiaan bathin, kebahagian atas pengetahuan bahwa kita sebagai manusia memiliki tujuan agar berguna bagi orang banyak. Kebahagian yang jauh lebih besar , kebahagian yang jauh lebih mulia.

Bukankah satu pertanyaan terbesar dalam hidup yang sedang kita jalani hari ini adalah :
untuk apa aku dilahirkan ke dunia ini?

Disinilah inti dari kepedulian tersebut, bahwa kita telah memiliki tujuan hidup. Beribu macam rasa kepedulian yang bisa kita berikan, namun hanya ada satu cara untuk menjadikannya berarti, yaitu disertai dengan rasa ketulusan. Maka lengkaplah kita menjadi masyarakat yang bermoral sosial.

Apa yang kita inginkan adalah membentuk karakter pengambil kebijakan yang  memiliki budaya saling peduli. sebuah efek domino positif, penyebaran virus yang baik. Mari kita perjuangkan  budaya saling peduli untuk menjadi karakter kita semua yang berada di kota ini, sehingga layak kita menyebutkan bahwa kita ini adalah bangsa yang berprikemanusiaan juga bangsa yang beradab.


 
Picture
Bangga, adalah suatu ungkapan yang patut kita ucapkan setiap pikiran ini merenung sejenak tentang Kemerdekaan yang telah diraih oleh orang-orang sebelum kita. Harta,waktu,raga, dan jiwa merupakan sesuatu yang tidak ada artinya pada Jaman sekarang jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada Jaman perjuangan dulu. Memang kita sebagai manusia haruslah berpikir maju atau berpikir tentang masa depan, namun kita juga harus menyadari bahwa “Takkan ada masa depan atau masa kini jika tak terjadi masa lalu”. Saya ambil contoh kecil saja, jika pada masa kecil kita, orangtua kita tidak menyuruh kita bersekolah, maka belum tentu anda bisa membaca artikel saya ini. Dari contoh yang saya jelaskan tadi, tentunya anda sudah dapat membuktikan sendiri atau menyimpulkan sendiri bahwa “Tanpa adanya Dahulu,tentu Sekarang takkan pernah ada”. Pemaparan tersebut perlu kita pahami terlebih dahulu sebelum kita membahas tentang apa itu KEMERDEKAAN.

Kemerdekaan,kira-kira apakah yang muncul di benak anda para pembaca jika mendengar atau membaca sekilas tentang kata itu? Apakah bebas? Apakah Aman dari segala gangguan? Ataukah Mandiri?

Tentu jika kita perjelas akan sangat rumit arti sebuah Kemerdekaan. Dan jika kita membahas tentang kemerdekaan sudah pasti 17 Agustus adalah salah satu jawaban yang muncul dipikiran kita. Coba kita kilas balik, 17 Agustus saat ini sudah menjadi tanggal keramat dikalender kita bukan? Dan pasti anda sudah tahu semua jawabannya, karena tanggal pada bulan tersebut di tahun 1945 Kemerdekaan Negara Republik Indonesia resmi di Proklamasikan oleh Soekarno-Hatta. Dan Beliau-beliaulah sang artis Perjuangan ketika itu. Mengapa saya berkata demikian? Karena hanya beliau-beliaulah yang tercatat dalam buku sejarah ketika kita masih duduk dibangku sekolah,padahal jika kita berkunjung di makam-makam pahlawan, terdapat ratusan bahkan ribuan hingga jutaan nama-nama pahlawan yang terpatri di sebuah papan atau batu yang jarang dikunjungi, entah karena lupa atas jasa para pahlawan atau hanya takut dengan rumor “Setan” yang menghuni makam. Setiap agama pasti mengajarkan bahwa setiap manusia akan mati dan sudah pasti setiap agama pula mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya dimata Tuhan,jadi saya rasa alasan kedua hanyalah omong kosong belaka. Namun jika pernyataan yang nomor dua itu di salahkan,bagaimana dengan pernyataan yang pertama bahwa “Kita lupa atas jasa para pahlawan?” apakah pernyataan itu benar? Maukah anda merenung sejenak dan coba pikirkan :

1. Apakah anda tahu lokasi makam pahlawan di sekitar anda?

2. Apakah anda pernah menyempatkan diri untuk mengunjunginya?

3. Seberapa sering anda mengunjunginya?

4. Berapa nama pahlawan yang anda ketahui?

5. Apa balas jasa anda untuk pengorbanan mereka terhadap Bangsa?

Mungkin anda bertanya-tanya mengapa saya mengajukan pertanyaan yang mungkin menurut sebagian orang tidaklah penting, namun jika kita mendengar pepatah bahwa “Bangsa yang hebat adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”. Dari seutas kata tersebut, kita patut berfikir dua kali tentang makna seorang pahlawan bagi kehidupan kita.

Memang kita tidak bisa sebegitu egois, mentang-mentang saat ini kita sudah merdeka,kita bisa berkata dengan kasar kepada para pahlawan “Siapa suruh dulu kamu berkorban demi Bangsa ini?”

Dan jika kita mendengar kata-kata demikian,bukan hal yang salah jika dengan secara spontanitas kita m engambil pistol dan menembak mati orang yang berkata demikian. Seperti pada awal penjelasan saya tadi, bahwa Takkan ada Sekarang jika tak ada dahulu,karena jika bukan karena para pahlawan-pahlawan yang telah berkorban sebagalanya hingga nyawa pun tak ada artinya,tentu mungkin hingga saat ini anda semua tidak akan bisa membaca tulisan saya ini, karena sudah jelas bukan? Penjajah tidak akan membiarkan Bangsa kita pintar,Bangsa kita Maju,Bangsa kita mengerti tentang apa itu arti sebuah Kemerdekaan.

Memang sebuah kemerdekaan itu identik atau sangat melekat erat dengan pahlawan. Tapi kini itu adalah background Bangsa ini, itu semua adalah pembentuk awal Negara ini dan itu adalah kisah sejarah pembangun Tanah Air kita 68 tahun yang lalu. Dan setelah 68 tahun merdeka, apakah sosok pahlawan masih dapat kita temui?

Apakah kita semua para Tunas Muda ini mampu meneruskan warisan yang tanpa sengaja diberikan kepada kita? Dan tentu saja jawaban yang dinanti oleh para pahlawan terdahulu kita adalah “YA!”

Benar sekali,kita Para Tunas Muda Bangsa Indonesia harus menanamkan sebuah kepercayaan diri kepada sepetak ladang hati kita bahwa nantinya,kita adalah pahlawan bagi Negeri yang kita cintai ini, Negeri ini adalah segalanya, Negeri ini adalah warisan yang patut kita pertahankan hingga akhir hayat kita bahkan hingga seluruh anak dan cucu kita kelak dan hingga seluruh generasi penerus bangsa nantinya.

Kemerdekaan negeri ini yang telah ditebus dengan begitu banyak nyawa haruslah selalu kita jaga dan pertahankan. Dan kita juga harus percaya bahwa “Kemerdekaan adalah Anugerah dari Tuhan YME, dan jangan biarkan Bangsa lain merebutnya”.

Dan dalam arti mempertahankan sebuah Kemerdekaan itu bukan seperti dahulu, kita harus mengangkat bambu runcing atau dengan senjata-senjata tradisional lainnya. “Hei,.. bangun Bung!!”

kita sudah di abad Millenium, saat ini terlalu banyak kejadian-kejadian yang mengancam kemerdekaan kita namun tidak dapat kita selesaikan hanya bermodalkan bambu runcing atau senjata-senjata tradisional lainnya.

Sudah 68 tahun Indonesia merdeka, dan selama itu pulalah Negara ini tidak pernah luput dari usaha mempertahankan kemerdekaannya. Dan jika sedikit saja kita lengah, bukan hal yang tidak mungkin Istana Negara akan di klaim sebagai tempat sejarah bangsa lain.

Memang hati ini sangat marah,dan tentu sangat geram ketika mendengar berita bahwa apa yang menjadi secuil kemerdekaan kita diklaim sebagai potongan-potongan emas dari bangsa lain. Entah itu budaya atau bahkan daerah teritorial yang menjadi sasaran oleh keganasan Bangsa lain yang dengan perlahan mulai mengganggu ketentraman Kemerdekaan Negara ini. Dan maukah anda dengan setia menunggu Bangsa lain mengakui dengan bangga atas Kemerdekaan Bangsa anda adalah milik mereka?

Maksudnya adalah apakah anda bersedia menanti tanpa adanya usaha mencegah Bangsa lain yang dengan perlahan tapi pasti mulai menggerogoti kemerdekaan yang lebih dari setengah Abad diberikan secara Cuma-Cuma oleh para pahlawan Negeri ini kepada anda?

Mungkin sekarang hanya tari,nyanyian,atau daerah territorial yang di klaim sebagai bagian dari milik bangsa lain dan sudah cukup pulau sipadan dan ligitan yang telah hilang dari seuntai bunga Kemerdekaan kitadan bisa saja nantinya Tugu MONAS-Jakarta akan di akui sebagai miliknya, Yah..mungkin itu sedikit hal yang mustahil pada saat ini,tapi bagaimana untuk kedepannya? Apakah anda yakin seratus persen?

Kita memang boleh bahkan wajib bagi kaum muslim melaksanakan ibadah puasa di bulan Penuh berkah ini,yaitu bulan suci Ramadhan tapi bukan artinya kita juga berpuasa dalam mempertahankan Kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Karena meski bulan puasa, tentu bangsa lain juga tidak akan ikut berpuasa dalam hal mengancam kemerdekaan Negeri ini. Dan apakah arti sebuah kemerdekaan jika hanya bersandarkan kepada sebuah sertifikat belaka atau hanya pada seuntai lembaran proklamasi tanpa adanya pengakuah sepenuh hati dari seluruh Bangsa Indonesia bahwa negeri ini adalah Negeri yang MERDEKA.

Maka dapat diambil sebuag garis besar bahwa,

1. Merdeka berarti terbebas dari belenggu!

2. Merdeka berarti terbebas dari segala bentuk Intimidasi

3. Merdeka berarti terbebas dari segala macam hal yang dapat merugikan

4. Merdeka berarti terbebas dari rasa takut yang mendalam.

5. Merdeka berarti sesuatu yang mendapatkan pengakuan dan dapat dirasakan.

Dengan demikian,saat ini timbul tanda tanya yang besar dalam benak saya “Sudah 68 Tahun Bangsa kita merdeka,Apakah benar Bangsa kita sudah Merdeka? ”. Jawabannya “Benar,Bangsa kita sudah Merdeka selama 68 tahun, namun belum sepenuhnya! ”.

Saya berani berucap demikian lancang dengan berlandaskan terhadap apa yang saya lihat saat ini bahwa, Kemerdekaan kita adalah utuh namun jika sebuah keutuhan itu mulai dengan perlahan namun pasti mulai berkurang keutuhannya akibat tindakan dari dalam atau dari luar yang telah mulai ganas mengancam,maka apalah arti sebuah Kemerdekaan itu jika hanya menjadi sebuah kiasan atau sebuah formalitas berdirinya sebuah Negara dimata Negara atau Bangsa lain. Kita pun perlu berpikir serta harus selalu dan selalu percaya, Negeri ini adalah makmur, Negeri ini adalah surga, Negeri ini adalah sesuatu yang sangat berharga dan patut untuk kita pertahankan dan Negeri ini adalah Jiwa kita dan maukah kita,ikhlaskah kita, jika apa yang menjadi bagian terpenting dalam diri kita diambil oleh orang lain? Tentu saja jawabannya TIDAK.!!


 
Picture
Akhir-akhir ini dengan semakin seringnya Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengadakan pemadaman listrik di Kota Sawahlunto menyebabkan masyarakat baik para pelaku usaha maupun rumah tangga di salah satu kota tua di Indonesia ini yang notabene adalah konsumen dari PLN tersebut mulai merasa gerah serta kesal dengan pelayanan yang sangat tidak memuaskan dari PLN.  Mulai berserakan kalimat-kalimat baik yang elegan maupun sumpah serapah yang mulai mempertanyakan tentang pelayanan yang sangat jauh dari kata-kata memuaskan sehingga memicu penulis yang notabene mengawal kebijakan untuk tidak adanya pemadaman listrik di Kota Sawahlunto berdasarkan sebuah MOU dan Nota kesepakatan yang sudah di tandatangani oleh pejabat berwenang dari PLN maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Sawahlunto pada saat Aksi Demo Damai PLN Kamis/29 Oktober 2009 yang lalu menuliskan sebuah opini tentang sebuah rasa ketidakpuasan terhadap pelayanan tersebut.

Masyarakat atau pelaku usaha sebenarnya dapat untuk menggugat ganti rugi ke Pengadilan sekaitan dengan terjadinya kerusakan pada alat elektronik seperti computer, kulkas, televisi dan perlengkapan alat rumah tangga yang rusak akibat pemadaman listrik. Karena kenyamanan Konsumen itu jelas-jelas sudah diatur dalam Undang-Undang No.08 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Konsumen.

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. PT. PLN dapat dijerat dengan UU tersebut akibat pelayanan buruk kepada masyarakat. Dalam pasal 62 bahkan disebut ancaman hukuman lima tahun penjara dan denda 2 miliar. Penerapan Hukuman terhadap pelanggar UU Perlindungan Konsumen perlu diterapkan sehingga dapat membuat efek jera dan tidak mengulangi kesalahan tersebut.

Aksi Demo Damai jilid I yang Penulis motori saat itu membuahkan sebuah MOU atau kesepakatan yang intinya adalah : “PT.PLN sebagai Produsen Listrik, tidak akan mengadakan pemadaman listrik di kota Sawahlunto sepanjang masih beroperasinya 1 unit PLTU Ombilin yang ada di Sijantang Kota Sawahlunto kecuali ada Force Majeure/bencana”

Nah inilah sesungguhnya menjadi sebuah alasan yang paling kuat oleh Penulis untuk kembali memotori aksi demo damai PLN jilid II karena tanpa alasan yang jelas PLN kembali mengulangi hal yang serupa dengan hal yang terjadi pada saat tahun 2009 yang lalu, di mana terjadi pemadaman listrik yang terjadi tanpa sebab dan alasan yang jelas. Tidak ada angin dan tidak ada hujan listrik padam. Dan itu terjadi tidak hanya sebentar malah sekarang sudah mulai menjadi-jadi karena pemadaman sudah mulai terjadi dengan durasi 4-5 kali sehari yang masing-masingnya 2 sampai 3 jam.

Kalaulah penulis tidak menyadari tentang keberadaan Pembangkit Listrik 2x100MW yang ada di Kota Sawahlunto,mungkin hati kecil ini akan dapat menerima apa yang dilakukan PLN pada saat ini karena daerah ini bukanlah penghasil listrik. Sungguh ironis malahan. Sebagai pemasok listrik ternyata PLN tidak mampu untuk memberikan kenyamanan di lokasi keberadaannya.seperti idiom “Ayam mati kelaparan di lumbung padi” atau “Ikan mati kehausan saat berenang”

Bukan bermaksud mengompori atau memprovokasi, penulis sebagai masyarakat kota Sawahlunto mungkin mewakili semua pemikiran serta keluhan semua warga masyarakat kota ini tentu kembali mempertanyakan PLN yang sudah melakukan WANPRESTASI terhadap MOU tahun 2009 itu. Penulis sudah memandang perlu kiranya kita kembali turun ke jalan saat keluhan dan suara ini sudah tidak bisa lagi di tanggapi oleh PLN, Pemerintah Kota serta Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah Kota Sawahlunto.

Jadi sekarang sudah saatnya lagi kita bangkit bersuara lagi berteriak dengan lantang dan tidak lagi hanya melakukan diskusi-diskusi kosong di warung maupun tempat-tempat yang lain di setiap sudut kota….ayo bersama kita turun lagi ke jalan meninggalkan sejenak aktifitas serta segala kesibukan kita. Kita harus kembali buat mata dan fikiran mereka terbuka akan kebutuhan kita warga masyarakat kota Sawahlunto yang hanya menginginkan 1 kata…..Tidak ada lagi pemadaman listrik di kota ini sebagai kompensasi dari keberadaan PLTU Ombilin yang notabene juga ikut merusak infrastruktur yang ada serta mencemari udara kita….kalaulah sarana prasarana kota kita rusak dan udara kita tercemar oleh keberadaannya..tidak pantaskan kita menuntut kompensasi seperti itu.

Ayo warga masyarakat Kota Sawahlunto….merdekakan fikiranmu!!!!......merdekakan hatimu !!! merdekakan nuranimu !!! Hentikan keterbenaman kita dari dogma dan doktrin-doktrin kuno bahwa kita masyarakat tidak berhak bersuara serta berada dalam sebuah penjajahan baru yang bernama PLN….ingat PLATO berkata “Suara Rakyat Suara TUHAN” saat Rakyat berkehendak..maka itulah kehendak TUHAN.

Kami menunggumu !! Sawahlunto Menunggumu !!!

Kalau tidak sekarang kapan lagi !!! kalau tidak kita yang akan bersuara dengan lantang..siapa lagi !!!!


 
Picture
PERHATIAN negara terhadap kelompok masyarakat marjinal secara sosial mencerminkan keinginan bangsa tersebut mencapai kemajuan. Suatu bangsa dapat dianggap maju jika berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Bukan berarti negara yang maju terlepas dari masalah-masalah kemiskinan, namun yang patut diperhatikan adalah bagaimana perhatian negara terhadap kesejahteraan rakyatnya. Dalam hal ini, kemiskinan menjadi musuh bagi setiap negara.

Definisi tentang kemiskinan memang sangat beragam. Kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan meningkatkan kualitas hidupnya. Beberapa pengertian lainnya memasukkan unsur sosial dan moral sebagai variabelnya. Secara struktural, kemiskinan dapat dimaknai sebagai kondisi yang tercipta akibat ketimpangan kepemilikan modal dan alat produksi.

Kemiskinan di sini diartikan sebagai ketidakberdayaan sekelompok masyarakat atas sistem pemerintahan yang menyebabkan masyarakat berada pada posisi yang tereksploitasi. Hal ini menggambarkan bahwa kemiskinan adalah sebagai suatu kondisi dari pola hidup, budaya dan pola-pola interaksinya bukanlah sesuatu yang terberi, namun tercipta karena adanya peran struktur yang menindas. Seseorang menjadi miskin bukan karena malas, bodoh dan atau tidak punya etos kerja yang tinggi, tetapi lebih karena terdapat struktur sosial yang timpang. Perspektif ini lebih dikenal sebagai kemiskinan struktural.

Kemiskinan bukan semata-mata fenomena sosial, tetapi lebih merupakan fenomena struktural. Pemerintah yang masih berkutat pada perspektif yang melihat kemiskinan sebagai fenomena sosial sebetulnya berupaya berkelit dari tugasnya sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap problem kemiskinan. Argumen yang selalu diulang-ulang adalah bahwa kemiskinan terlalu kompleks untuk diselesaikan dalam waktu singkat dan bahwa kemiskinan adalah masalah bersama. Karena itu semua untuk mengatasinya secara bersama-sama pula. Ini adalah distorsi dan manipulasi dalam bentuk yang sangat halus. Rakyat dipersuasi sedemikian rupa sehingga akhirnya lupa bahwa kemiskinan bukan fenomena struktural (Muhammad, 2005).

Tata ekonomi dan model pembangunan yang selalu berubah tetap menempatkan rakyat sebagai korban. Model pembangunan Keynesian yang telah lama dianut oleh rezim-rezim yang berkuasa di Indonesia patut kiranya dipertanyakan kembali keampuhannya. Tak bisa dipungkiri bahwa penerapan teori Keynes telah sukses merekontruksi negara-negara berkembang. Namun masa keemasan itu hanya bertahan selam kurun waktu 20 tahun yaitu antara tahun 1950-1970. Banyak teori dan doktrin pembangunan memiliki kesamaan komposisi, ialah mendefinisikan pembangunan ekonomi hanya sebagai pertumbuhan ekonomi.

Tak bisa disangkal, para ekonom Keynisian masih mendasarkan proposisi yang mendasari konsepsi kemajuan dalam tradisi ekonomi klasik bahwa kemajuan adalah sebuah proses linier. Gagasan pembangunan didasarkan pada proposisi itu. Pembangunan itu dipahami sebagai proses linier yang bakal mewujudkan apa yang pernah disebut oleh Adam Smith sebagai “kekayaan” bagi masyarakat yang terbelakang dan primitif. Agar bisa menjadi negara industri, negara-negara non industri harus menempuh jalan yang sama persis dengan yang dahulu dilalui negara-negara industri barat.

Saatnya para ekonom Indonesia mencari solusi alternatif untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi dan kemiskinan di Indonesia. Dengan segenap kelemahan dan kelebihannya, ekonom Indonesia bisa saja mempelajari, misalnya, pada Amartya Sen tentang bagaimana pembangunan ekonomi dan demokrasi direformulasi untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan. Sen (2000) mengemukakan bahwa demokrasi adalah sarana untuk mencapai tujuan kebebasan politik, sementara pembangunan ekonomi bertujuan menciptakan kebebasan di bidang ekonomi. Meski demokrasi tidak selalu membawa kemakmuran, tetapi di negara-negara demokrasi tidak pernah ada kelaparan. Pemerintahan yang demokratis akan lebih tanggap pada masalah-masalah yang dihadapi rakyatnya.

Di sadur dari Buku Daman Huri, Salah Satu Penulis Buku “Demokrasi dan Kemiskinan” serta dari berbagai sumber