Picture
Pemilu sudah dekat.   Berbagai pihak menyikapi Pemilu dengan pola pikir, sikap dan tindakan berbeda.  Anggota dewan yang sedang menduduki jabatan tentu melihat Pemilu sebagai kesempatan memperpanjang masa bakti.  Yang belum duduk melihatnya sebagai peluang untuk mendapat kedudukan dan hak istimewa sebagai anggota dewan, bahkan yang paling naif sebagai lapangan pekerjaan, bukan wadah pengabdian. Perlombaan menarik hati rakyat sudah dimulai, baik dengan janji muluk,muka manis, dengan iming-iming uang atau sembako, bahkan menggunakan organisasi massa menekan pemilih. Baliho, spanduk dan billboard bertebaran, dan walaupun sudah ada aturannya, semua cenderung melanggar ketentuan.
Sebagian masyarakat melihat Pemilu sebagai kesempatan untuk mendapat uang tunai tanpa bekerja dan menerima  sembako gratis serta bentuk bantuan lainnya.    Ada pula oknum yangmendekati para caleg dengan janji membawa sejumlah massa dan meminta imbalan. Adapula yang seolah memaksa ingin menjadi tim sukses.   Ujung-ujungnya tim yang sukses, calegnya gigit jari.

Semua ulah tingkah tersebut adalah konsekuensi dari sistem pemilihan langsung yang kita anut sekarang.  Kita  meyakini bahwa inti dari demokrasi adalah pemilihan langsung, satu orang satu suara atau one man one vote.   Dalam demokrasi, memang keinginan rakyat berada di atas segalanya, sampai ada pepatah “vox populi vox dei”.  Demokrasi lebih lanjut kita terjemahkan sebagai keharusan untuk melaksanakan pemilihan wakil rakyat, presiden, maupun gubernur dan bupati serta walikota secara langsung.  Kita terlena, lupa bahwa demokrasi bukan tujuan, tetapi cara untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Banyak pengalaman yang menunjukkan bahwa pemilihanlangsung dan prinsip majority rules seringkali pelan-pelan tapi pasti membawa akibat buruk dalam penyelenggaraan Negara.   Contoh, Stalin dan Hitler setelah memegang kekuasaan, berkali-kali memenangkan pemilihan umum dengan selisih suara yang sangat besar, tentunya dengan menggunakan segala cara.   Kita tahu dari buku sejarah bagaimana mereka memerintah secara represif dan menjadi tirani. Di Negara asal demokrasi yang menjadi kiblat kita yaitu Amerika Serikat, sistem pemilihan langsung juga hanya menghasilkan pemimpin yang mediocre, biasa-biasa saja.   Di Indonesia, bahkan hal yang buruk terjadi.   Coba bandingkan kualitas pemerintahan Indonesia dari masa ke masa.   Sekarang korupsi lebih masif, terencana dan melibatkan lebih banyak pihak.   Hasil Pemilu langsung menghasilkan banyak kepala daerah yang akhirnya menjadi tersangka dan jumlahnya terus berkembang.  Banyak kepala daerah menjadi seperti raja kecil di daerah, membangun dinasti dan memperkaya diri.  Ada pula yang menjadi tirani dan tidak memperhatikan nasib rakyatkecil.   Sepertiga pejabat di daerah sudah menjadi tersangka. Dari 33 gubernur, sudah 19 yang menjadi tersangka.   Belum lagi mantan menteri, bahkan menteri dan anggota DPR dan DPRD yang menjadi tersangka, terdakwa, bahkan terpidana.

Dengan demikianmenjadi pertanyaaan bagaimana seharusnya kita semua menyikapi sistem pemilihan langsung yang kita anut saat ini agar membawa manfaat yang tinggi dalam mencapai tujuan bernegara.

Prinsip utama yangharus kita pegang dalam berdemokrasi adalah “Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.   Dari rakyat berarti yang memerintah adalah yang dipilih dari rakyat.    Oleh rakyat berarti yang dipilih adalah di antara calon yang memenuhi persyaratan, kompetensi dan integritas untuk mencalonkan diri dan kemudian yang terpilih adalah yang terbaik.   Untuk rakyat berarti kekuasaan yang diperoleh adalah benar-benar untuk kepentingan masyarakat, bukan kepentingan pribadi atau golongan.   Masalah yangterjadi saat ini adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat akan demokrasi.  Pendidikan politik masyarakat sangat kurang, bahkan nyaris tidak ada.  Kelompok menengah yang seharusnya turut memberikan pendidikan politik pada masyarakat seolah tidak peduli, dan cenderung memikirkan diri sendiri serta melanjutkan tradisi pembodohan yang menina bobokkan masyrakat dengan gelontoran uang. Sebagian Media masa pun cenderung menjadi alat politik dan mengejar keuntungan sehingga tidak memberi ruang yang sama bagi setiap partai dan calon legislatif.   Yang membayar diekspose, yang tidak mampu nanti dulu.   Mereka lupa fungsi hakiki pers sebagai teacher, watcher dan forum, atau mendidik, mengawasi dan sebagai tempat bertemu dan berkembangnya pendapat dan pemikiran.   Dengan demikian tidak heran bila rakyatkehilangan panutan, tidak mempunyai pegangan sehingga tersesat dan bingung menghadapi Pemilu.   Masih cukup banyak masyarakatyang mengartikan demokrasi sebagai kebebasan individu tanpa batas sehinggabebas berbuat apapun, termasuk melanggar hukum, tidak perlu disiplin dan kurangbertanggungjawab.   Politik uang dianggapwajar, menyebabkan yang terpilih sering bukan calon yang mumpuni.   Karena terpilih dengan memakai uang, mereka sering bertindak seperti “dagang sapi”.  Suara mereka beli, sehingga berbuat sekehendak mereka, jauh dari tanggung jawab dan kewajiban melaksanakan kekuasaan untuk kepentingan masyarakat. 

Rasanya sudah saatnya kita membangun kesadaran bersama bahwa demokrasi hanya akan berjalan baik bila ada akuntabilitas seperti yang dikatakan seorang pakar politik: “There is onequality, perhaps above all others, which is essential if a state is to bedemocratic and that is accountability”. Menurut hemat saya, inti akuntabilitasadalah tanggung jawab, keterbukaan, kejujuran, keadilan dan kebenaran dariseluruh masyarakat.





Leave a Reply.